Berdikari.online – Saya pada awalnya skeptis akan proyek ini saat diumumkan pertama kali pada dua tahun lalu. Begitu pula ketika trailer pertama dirilis yang menampilkan kisah epos dibawakan dengan percakapan ala anak ‘Jaksel’.
Akan tetapi, skeptisme itu perlahan luntur saat adegan demi adegan Satria Dewa Gatotkaca tersaji di layar lebar.
Gaya film epos macam Marvel Cinematic Universe yang ‘ramah’ tampaknya memang jadi cara utama Gatotkaca untuk mengenalkan kisah ini kepada publik. Walaupun, dalam beberapa aspek, kehadiran sejumlah tokoh sebenarnya tak berdampak signifikan pada cerita.
Hanung juga tampaknya ingin menampilkan gaya plot film superhero berbumbu fiksi ilmiah untuk menarasikan kisah epos yang jadi dasar Gatotkaca.
Plot cerita yang mengajak penonton menebak alur berikutnya terasa kental dalam film yang membawa kisah pewayangan dalam suasana kehidupan masyarakat Indonesia di abad ke-21.
Meski begitu, pujian bisa diberikan oleh Hanung dan tim produksi dari Gatotkaca. Dengan alur waktu maju-mundur, mereka jelas amat memperhatikan detail set serta penokohan film ini di tengah berbagai keterbatasan yang ada.
Film ini disebut sebelumnya dikerjakan semasa Indonesia dihantam pandemi dan memiliki masa lokakarya yang amat minim. Relevansi dunia nyata itu pun juga ditampilkan dalam film ini yang membuat Gatotkaca terasa agak terhubung dengan penonton.
Saat relevansi kehidupan sehari-hari itu muncul, saya merasakan sentuhan drama slice of life di tengah keriuhan aksi superhero film ini. Hal itu jadi nilai tambah film ini, sekaligus melogiskan gaya bahasa kekinian yang membuat saya bertanya-tanya di awal.
Memang cara ini terasa seperti “main aman”, tapi patut diacungi jempol. Apalagi bila mengingat niatan film ini untuk mengenalkan kisah pewayangan pada Gen Z dan milenial yang tak pernah tersentuh acara tanggap wayang.
Berbicara soal wayang, Hanung Bramantyo dan tim kreatif jelas melakukan riset mendalam dalam mengadaptasi kisah Mahabharata ke bentuk layar lebar. Setidaknya, diskusi intens dengan pakar budaya dan sejarah dari sejumlah universitas terbayar tak percuma.
Walaupun Satria Dewa Gatotkaca bisa dibilang berhasil membawa kisah pewayangan dan sebagai pembuka saga, film ini juga masih meninggalkan sejumlah catatan.
Pertama, film ini belum menawarkan sebuah kesegaran dan kebaruan yang berarti dalam genre superhero ataupun laga.
Jika mau mengembalikan skeptisisme saya, akan dengan mudah untuk melabeli Satria Dewa Gatotkaca sebagai MCU versi Indonesia dengan melihat gaya film ini.
Apalagi jika menilik pada efek kejut di alur cerita, cerita yang memaksa penonton menantikan kelanjutannya, serta adegan-adegan perkelahian yang terkesan penuh ragu dan tak memuaskan. Kemudian, ekspektasi tinggi yang tak tercapai dari kehadiran Yayan Ruhian dan Cecep Arif Rahman.
Harapan menyaksikan adegan perkelahian dan pencak silat yang mantap rasanya terasa tak klimaks dan cenderung terbebani, entah dengan target penonton, durasi, atau sensor.
Meski begitu, setidaknya Satria Dewa Gatotkaca bisa dianggap berhasil melaksanakan niatnya mengenalkan kisah pewayangan kepada generasi muda yang awam soal perseteruan Pandawa dan Kurawa.
Selain itu, ini adalah pengalaman pertama Hanung Bramantyo menggarap film superhero. Melihat rekam jejaknya yang didominasi film drama, jelas Gatotkaca jadi titik balik bagi perjalanan karier salah satu sutradara yang amat aktif bekerja ini.
Tak lupa, efek animasi dan CGI yang terhitung mewah dan mumpuni bila dibandingkan dengan riwayat penggunaan efek visual di kebanyakan film Indonesia. Jangan dibandingkan dengan karya Hollywood yang memiliki alat termutakhir, sumber daya manusia melimpah, dan duit produksi berkali-kali lipat dari bujet film Indonesia termahal.
Efek visual film yang dihadirkan bersamaan dengan musik latar megah jelas mendukung keramahan dari film ini dan memanjakan penonton sepanjang durasi.
Terlepas dari performa Satria Dewa Gatotkaca yang bisa dibilang terobosan, perlu diingat bahwa film ini adalah pembuka dari proyek ambisius jagat sinema Satria Dewa.(*)