Berdikari.online – Konflik agraria di Talisayan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur antara Masyarakat Adat Dayak Marjun dengan perkebunan sawit PT. Tanjung Buyuh Perkasa Plantation (TBPP) sejak tahun 2004 bermuara pada kriminalisasi warga.
Pada Sabtu, 4 Juni 2022, Polres Berau dibantu Polsek Talisayan menangkap 6 (enam) orang, terdiri dari 4 Masyarakat Adat Dayak Marjun (Jamaludin, Shabir, Mansur, Amin) dan 2 (dua) lainnya yaitu Ketua DPC KASBI (Boni) dan pekerja sawit (Alek).
Berdasarkan pernyataan yang diterima redaksi berdikari.online pada Jumat (24/06) Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) bersama Konfederasi KASBI mengungkapkan, penangkapan tersebut dilakukan berdasarkan laporan PT. TBPP, yang menuduh warga telah melakukan pemanenan dan pencurian sawit milik PT TBPP.
“Keenam warga dilaporkan melanggar Pasal 363 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bahkan Boni yang merupakan DPC KASBI Berau juga dilaporkan menggunakan Pasal 55 KUHP.” Terang KNPA dan KASBI
Menurut mereka, penetapan tersangka dan penangkapan yang dilakukan dengan penjemputan paksa pada 6 (enam) warga, dilakukan tidak sesuai dengan prosedur hukum acara pidana.
“Saat proses BAP pun, aparat Polisi secara sepihak menunjuk pendamping hukum tanpa memberikan peluang bagi korban untuk memilih siapa yang akan mereka minta menjadi pendamping hukum. Padahal pasal 54-56 KUHAP telah menjamin hak korban untuk memilih siapa yang akan mendampingi mereka.” Ujar KNPA dan KASBI.
Selain itu, informasi terbaru yang didapatkan pada Kamis, (23/06/2022) perkara berlanjut dengan pelimpahan berkas penyidikan ke Kejaksaan Berau.
Diketahui, Ke-6 warga yang dikriminalisasikan melakukan BAP di Kejaksaan Berau dan ditahan di Rutan Tanjung Redeb Berau. Dan dapat dipastikan, kriminalisasi ini akan terus berlanjut pada proses peradilan.
KNPA dan KASBI dalam rilisnya menegaskan, kasus pemanenan sawit oleh Masyarakat Adat Dayak Marjun di atas tanah ulayatnya, tidak dapat secara sederhana disebut sebagai kasus pencurian dan menggunakan pendekatan hukum pidana.
Jika ditilik ke belakang, hal yang melatarbelakangi aksi pemanenan sawit oleh Masyarakat Adat Dayak Marjun, adalah buah dari konflik agraria yang berlarut dan tidak kunjung diselesaikan. PT TBPP menanam sawit di luar batas HGU-nya dan merampas wilayah adat Dayak Marjun seluas kurang lebih 1.800 hektar
Dikatakan KNPA dan KASBI, bahwa masyarakat Adat Marjun yang bermuara pada kriminalisasi tersebut terjadi akibat pemerintah lalai dalam menangani persoalan konflik agraria yang dihadapi masyarakat. Masyarakat Adat Dayak Marjun telah melakukan protes dan penolakan kegiatan operasional PT TBPP yang merampas tanah ulayat dan merusak lingkungan dengan berbagai cara.
Alih-alih mendapat respon, upaya-upaya mereka tersebut justru diarahkan pada tuduhan-tuduhan tindakan pidana. Padahal pasal 66 UU No.32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dengan tegas menyebutkan “setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.
Selain itu, lanjut KNPA dan KASBI, peristiwa ini semakin menambah preseden buruk penanganan konflik agraria di Indonesia yang selalu mengedepankan pendekatan represif dan diskriminatif secara hukum terhadap masyarakat.
“Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat kurun waktu 7 (tujuh) tahun terakhir (2015-2017), sebanyak 1437 orang dikriminalisi, 776 orang dianiaya, 75 orang tertembak, dan 66 orang tewas. Korban-korban tersebut berjatuhan akibat pembiaran konflik berlarut-larut.” Kata KNPA dan KASBI.
Alih-alih menindak perusahaan yang telah merampas tanah-tanah masyarakat, pemerintah justru seringkali menurunkan aparat keamanan ke wilayah konflik yang berujung jatuhnya korban.
“Peristiwa ini adalah potret dari buruknya cara pemerintah dalam menangani dan menyelesaikan ratusan konflik agraria di Indonesia yang telah terjadi selama puluhan tahun. Preseden ini seharunsya menjadi momentum pemerintah untuk melakukan evaluasi secara mendasar penyelesaian konflik agraria, termasuk evaluasi terhadap institusi Polri yang seringkali melakukan tindakan kontraproduktif di wilayah konflik.” Tegas KNPA dan KASBI.
Atas bacaan dan analisis situasi di atas, Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) bersama Konfederasi KASBI menuntut:
Pertama, Kejaksaan Negeri Berau untuk segera menghentikan proses hukum atas kriminalisasi yang menimpa Masyarakat Adat Marjun.
Kedua, Polres Berau segera membebaskan Masyarakat Adat Marjun dari ancaman kriminalisasi dan segala tuduhan hukum yang diskriminatif.
Ketiga, Pemkab Berau bertindak secara aktif dalam memenuhi hak atas tanah, wilayah dan lingkungan Masyarakat Adat Marjun Berau yang dirampas dna dirusak akibat PT. TBPP.
Keempat, Kapolri menindak tegas anggotanya yang telah melakukan tindakan kontraproduktif dan mengevaluasi keterlibatan aparat kepolisian di wilayah konflik agraria;
Kelima, Kementerian ATR/BPN segera mencabut HGU PT TBPP dan memberikan sanksi tegas atas tindakan perampasan tanah yang telah dilakukan pihak perusahaan;
Keenam, Presiden mengintruksikan Kementerian dan Lembaga terkait untuk secara benar mengimplementasikan pasal 66 UU PPLH
Ketujuh, Presiden segera mengintruksikan Kementerian dan Lembaga terkait untuk mempercepat penyelesaian konflik agraria Wilayah Adat Marjun sebagai bagian dari komitmen pelaksanaan reforma agraria dan pengakuan serta pemulihan hak-hak masyarakat adat.
Demikian pernyataan KNPA dan KASBI atas kasus yang menimpa Masyarakat Adat Dayak Marjun dengan perkebunan sawit PT. Tanjung Buyuh Perkasa Plantation (TBPP).(*)