Wednesday, July 2, 2025

Realitas Pendidikan di SMP Negeri 1 Airu, Jayapura Dalam Bingkai Transformasi Digital 4.0

Shares

Oleh: Maryani M. Letuna

Berdikari.online – Salah satu tujuan Negara Republik Indonesia ialah mencerdaskan kehidupan bangsa, yang dalam Pasal 31 ayat 3, UUD mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan tingkat nasional, dengan meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa.

Pendidikan juga dijamin dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 ayat 1, yang mengandung jaminan bahwa setiap warga Negara memiliki hakyang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

Untuk menjamin kualitas pendidikan yang bermutu, seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945, maka pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk dapat mencapai mutu kualitas pendidikan di Tanah Air.

Dalam hal ini, didapati turunan kebijakan yang digunakan sebagai landasan dasar dalam pendidikan, yang mencakup cara belajar, apa yang dipelajari, serta arah dan tujuan pendidikan. Menurut Harsono (2005), kurikulum merupakan gagasan pendidikan yang diekpresikan dalam praktik.

Dalam bahasa latin, kurikulum berarti track atau jalur pacu. Saat ini definisi kurikulum semakin berkembang, sehingga yang dimaksud kurikulum tidak hanya gagasan pendidikan tetapi juga termasuk seluruh program pembelajaran yang terencana dari suatu institusi pendidikan.

Sementara, kurikulum secara etimologis dan istilah dapat disimpulkan merupakan program pendidikan yang berisi sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan pendidikan.

Hilda Taba mengartikan kurikulum sebagai a plan for learning, yakni sesuatu yang direncanakan untuk dipelajari oleh anak-anak. Sesuatu yang direncanakan dalam hal ini mencakup mata pelajaran itu sendiri.

Kurikulum Berganti pada Pusaran Badai Teknologi 4.0 

Kurikulum yang ada saat ini ialah kurikulum 2013 yang berlandaskan pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, yang mana kurikulum tersebut berprinsip Demokratis.

Kurikulum 2013 terbentuk dengan tujuan untuk mendorong peserta didik atau siswa agar mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengomunikasikan yang mereka peroleh atau yang mereka ketahui setelah menerima materi pembelajaran di sekolah (Anwar, 2014).

Merasa belum cukup dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nadiem Makarim kembali menerapkan kebijakan kurikulum terbaru yang disebut sebagai merdeka belajar, dengan mengusung konsep merdeka belajar, merdeka bermain.

Dengan konsep merdeka yang diutarakan oleh Mentri Pendidikan dan Kebudayaan, terdapat 4 pokok kebijakan terkait hal tersebut; 1. Mengganti ujian nasional dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan survey karakter, 2. Penyerahan Ujian Sekolah Berstandar Nasional kepada sekolah, 3. Penyerderhanaan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), 4. Perluasan system zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB).

Singkatnya, Kurikulum Merdeka Belajar adalah bentuk evaluasi dari kurikulum sebelumnya, yakni Kurikulum 2013. Kurikulum ini diluncurkan secara resmi oleh Medikbudristek Nadiem Makarim pada Februari 2022.

Komitmen Medikbudristek ini sejalan dengan pandangan Prof.Dr. Henry Guntur Tarigan bahwa Kurikulum ialah suatu formulasi pedagogis yang termasuk paling utama dan terpenting dalam konteks proses belajar mengajar.

Maka, Kurikulum Merdeka Belajar memberikan tantangan terbaru bagi iklim pendidikan di Indonesia untuk melahirkan suasana pendidikan yang ramah, tidak kaku tapi belajar secara bebas dan menemukan sendiri makna dan tujuannya.

Merdeka Belajar merangsang aspek pendidikan di tanah air khusus bagi para guru untuk mampu mendesain pembelajaran yang inovatif bagi siswa dengan memanfaatkan teknologi digital sebagai media pembelajaran yang menarik di masa revolusi industri 4.0.

Konsep tersebut merupakan bagian dari lembaga pendidikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan harus fleksibel terhadap kebebasan dan keterbukaan diri sebagai institusi pendidikan yang dapat berperan serta berkontribusi riil demi kemaslahatan umat terutama di era revolusi industri 4.0 dan society 5.0.

Semangat untuk melakukan inovasi dan perubahan inilah roh pertama program merdeka belajar untuk diterapkan di sektor pendidikan Indonesia. Apalagi di era revolusi industri 4.0, system pendidikan diharapkan dapat mewujudkan peserta didik memiliki keterampilan yang mampu berfikir kritis dan memecahkan masalah, kreatif dan inovatif serta keterampilan komunikasi dan kolaborasi (Ammas, 2021)

Pemerintah sendiri menyebutkan bahwa konsep ini merupakan kemerdekaan berpikir sesuai dengan amanah Undang-Undang 1945 dan Pancasila. Oleh sebab itu sekolah harus adaptif dan futuristis.

Revolusi Industri Gagap di Daerah Pinggiran

Revolusi industri 4.0 dan society 5.0 berlangsung, transformasi struktur sosial secara cepat dan berubah-ubah, hubungan sosial tergantung pada teknologi, sebagian kategori pekerjaan yang hilang, warga mempunyai peluang dan daya saing yang sama.

Melalui kebijakan Merdeka Berlajar, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim ingin menciptakan suasana belajar yang happy dan kondusif bagi peserta didik.

Merdeka belajar menurut Mendikbud berangkat dari keinginan agar output pendidikan menghasilkan kualitas yang lebih baik dan tidak lagi menghasilkan siswa yang hanya jago menghafal namun juga memiliki kemampuan analisis yang tajam, penalaran serta pemahaman yang komprehensif dalam belajar untuk mengembangkan diri (Saleh, 2020).

Dijelaskan Mendikbudristek, lebih dari 1,6 juta guru telah menggunakan Platform Merdeka Mengajar yang membuka akses pada pengembangan diri secara lebih mandiri dan sesuai kondisi.

Kemudian, terbentuknya lebih dari 3.500 komunitas belajar para guru, terkumpulnya lebih dari 55 ribu konten belajar mandiri. Selain itu, lebih dari 141 ribu sekolah telah terbantu dalam mengetahui kondisi literasi, numerasi, karakter siswa, serta kualitas pembelajaran mereka melalui Rapor Pendidikan.

Dari penjelasan tersebut, dapat dipastikan, peranan teknologi pendidikan dalam perspektif merdeka belajar di era 4.0 sangatlah urgen bagi guru dalam memahami hakikat dari teknologi pendidikan itu sendiri, para guru tidak sekedar dapat mendifinisikan teknologi pendidikan sebagai sebuah perangkat, mesin, computer ataupun artefak lainnya, tetapi teknologi pendidikan memberikan pengertian tentang sistem serta proses yang mengarah pada hasil yang di inginkan, sesuai terhadap kebijakan program baru “merdeka belajar di era 4.0” seperti terhadap wilayah kemampuan yang mencakup: literasi, numerasi dan survey karakter.

Pembelajaran ini diharapkan bisa berjalan dengan efektif, efisien, lebih banyak, lebih luas, lebih cepat, lebih bermakna untuk peserta didik (Widiyono dan Millati, 2021).

Selain itu, dalam konteks pendidikan, digitalisasi dimaknai sebagai upaya mengubah berbagai aspek dan proses pendidikan ke dalam berbagai jenis bentuk digital untuk mencapai tujuan pendidikan (Saputra, Kholil, Selegi, Setia, Sinaga, & Farisi, 2021).

Menyelami Transformasi Pendidikan di Daerah Pinggiran

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Aan Widiyono dan Izzah Millati, dalam perspektif merdeka belajar di era 4.0 peranan tekonologi pendidikan sangatlah berpengaruh dalam hal memberikan kemudahan dalam menjalankan program merdeka belajar secara nyata, tidak sekedar pada perencanaan ataupun proses tetapi pada tataran pengelolaan, pemanfaatan, pengembangan, beserta tahap penilaian.

Teknologi yang hadir dalam kehidupan manusia dari hari ke hari terus mengalami perkembangan dengan begitu cepat dan pesat. Kehadirannya dalam kehidupan manusia turut berpengaruh dalam aspek, aktivitas, tindakan, serta perilaku manusia (Ngafifi, 2014). Bahkan kehadiran teknologi turut serta menjadi gejolak bagi manusia agar terus beradaptasi dengan berbagai macam bentuk yang terbaru.

Gejolak untuk beradaptasi terhadap kehadiran teknologi baru bagi manusia yang mempunyai kesibukan dan aktivitas sangat tinggi tentu menjadi tantangan tersendiri.

Bagi kalangan usia tua akan sangat kesulitan dan membutuhkan waktu yang lama untuk beradaptasi, berbeda halnya dengan kalangan generasi muda yang selalu bergantung terhadap teknologi maka proses beradaptasi begitu mudah dan cepat.

Perspektif antara yang tua dan muda dalam memandang kehadiran teknologi sesungguhnya telah terjadi menjadi pro dan kontra.

Ketimpangan pendidikan nasional juga memiliki korelasi erat dengan kesenjangan digital. Data yang dikumpulkan oleh badan riset SMERU Indonesia mencatat bahwa hingga 2019, lebih dari 50 persen penduduk perkotaan telah mengakses internet. Angka ini lebih besar dibandingkan dengan pengguna internet diperdesaan yang hanya sekitar 30 % .

Muhajir (2020) menyatakan bahwa keadaan pandemic semakin menunjukkan kesenjangan digital (digital divide) yang makin lebar di masyarakat. Kesenjangan tersebut akhirnya menghasilkan ketimpangan pendidikan itu sendiri.

Dengan pembelajaran daring, siswa miskin dan yang tinggal di daerah pedalaman serta terluar sulit mengakses pembelajaran karena ketiadaan sarana TIK dan kesulitan mendapatkan sinyal internet.

Pasang Surut Sinyal Bukan Masalah

Pernyataan Muhajir tersebut dapat ditemukan di SMP Negeri 1 Airu, Jalan Trans Wamena Hulu Atas Distrik Airu, Kabupaten Jayapura. SMP ini memiliki guru 11 orang, denngan siswa laki-laki 55, siswa Perempuan 32, dan Kepala Sekolah bernama Darius Nere S.Pd.

SMPN 1 Airu Hulu Atas merupakan sebuah sekolah yang letaknya paling jauh dan berada di pedalaman Kabupaten Jayapura.

Secara realitas, saya (Maryani Letuna) yang adalah guru di sekolah tersebut cukup merasakan pahit dan getirnya melewati kehendak kurikulum dengan ragam muatan pendekatan yang harus diterjemahkan di sekolah yang paling jauh di Jayapura ini.

Hantaman teknologi digital yang semakin nyaring di daerah perkotaan merambat pada aspek pendidikan, dengan kertersediaan prasarana dan fasilitas yang memadai tak begitu nyaring di sekolah yang saya ajar. Sekolah kami belum memiliki fasilitas internet, tidak hanya itu, jaringan dan listrik sejak kemerdekaan Indonesia digaungkan Soekarno dan Hatta, hingga kini, pelita dan sumber listrik diesel adalah sumber cahaya bagi kami.

Selain itu, rata-rata murid di sekolahnya tidak memiliki keterampilan penggunaan teknologi yang terbatas, karena tidak pernah menggunakan perangkat teknologi seperti android, laptop, dan sebagainya.

Persoalan ini diperparah dengan terbatasnya sinyal, karena daerah sulit sinyal bahkan kadang tidak memiliki sinyal sama sekali. Jika adapun, kami harus ke lokasi yang lebih tinggi dengan medan tempuh yang tidak semulus daerah perkotaan dan jarak berkilometer. Kadang kami harus memanjat pohon atau naik ke atas gunung atau bukit untuk mendapatkan sinyal.

Keresahan dan realitas pendidikan  yang saya alami ini menggambarkan bahwa ditengah gencarnya arus teknologi 4.0 dan 5.0 dan ekosistem pendidikan yang serba digital, masih terdapat ketimpangan pendidikan yang menghambat transformasi pendidikan karena belum meratanya pembangunan di wilayan Indonesia yang luas ini.

Menurut saya, untuk mengatasi persoalan dan kendala akses internet, saya bersama para guru memaknai Merdeka Belajar yang dicanangkan oleh Menteri Nadiem Makarim sebagai kebebasan berekspresi, yakni bersama para murid belajar di alam terbuka.

saya memaknainya (red: merdeka belajar) sebagai bentuk kekebasan berekspresi, bersama para murid belajar dengan alam, di bawah rindang pepohonan, lapangan terbuka, sambil bernyanyi, berhitung, belajar membaca, intinya membebaskan mereka dari tekanan di dalam kelas yang kaku dan mendekatkan siswa bersama alam. Dari alam mereka belajar menggali pengetahuan.

*Penulis adalah guru SMP Negeri 1 Airu, Jalan Trans Wamena Hulu Atas 

Shares

berita lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Berita Terbaru