Berdikari.Online – Indonesia terus memperkuat posisi perekonomiannya dengan kebijakan sistem pembayaran nasional, Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dan Quick Response Indonesian Standard (QRIS), yang kini menjadi sorotan internasional.
Menurut Penasihat Center of Sharia Economic Development (CSED) Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Hakam Naja, dua kebijakan ini telah mendorong digitalisasi ekonomi lokal, bahkan di kalangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Abdul Hakam menjelaskan bahwa kedua kebijakan ini, yang diluncurkan oleh Bank Indonesia, bertujuan untuk mendigitalisasi sistem pembayaran di Indonesia dengan fokus pada transaksi domestik.
“QRIS dan GPN ini memberikan prioritas untuk transaksi dalam negeri, yang lebih murah dan berbasis Indonesia,” jelasnya dalam diskusi publik bertajuk Dampak Perang Dagang Bagi Ekonomi dan Keuangan Syariah yang digelar daring, Jumat (25/4/2025) dikutip repulica.id.
Hal ini, menurutnya, memberi keuntungan bagi ekonomi lokal. Namun, kebijakan ini juga mendapat sorotan tajam dari Amerika Serikat. Dalam pandangan Amerika, terdapat pembatasan yang dapat merugikan perusahaan-perusahaan pembayaran internasional, seperti Visa dan Mastercard.
“Amerika merasa khawatir bahwa pembatasan dalam kebijakan QRIS dan GPN ini dapat mengambil porsi pasar mereka,” ungkap Abdul Hakam.
Meski demikian, data menunjukkan bahwa QRIS telah menunjukkan perkembangan pesat sejak diluncurkan pada 2020.
Abdul Hakam menuturkan, “Sejak diluncurkan, transaksi QRIS telah mencapai lebih dari seribu triliun, dengan perkembangan yang selalu double digit dan bahkan triple digit dari tahun ke tahun.”
Perkembangan ini menjadi indikator bahwa digitalisasi ekonomi Indonesia semakin maju dan memberikan dampak signifikan pada transaksi domestik. Dalam konteks internasional, Abdul Hakam juga mengungkapkan bahwa Amerika merasa terbebani dengan kebijakan ini.
“Mereka melihat QRIS dan GPN ini sebagai tantangan, apalagi saat ini mereka sedang menghadapi defisit perdagangan yang cukup besar,” tuturnya.
Pada 2024, Amerika tercatat mengalami defisit perdagangan sebesar 1,2 triliun dolar AS, dengan Indonesia menjadi salah satu negara yang turut berperan dalam defisit tersebut.
Selain itu, kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh Indonesia, seperti pembatasan kepemilikan asing di sektor perbankan, juga menjadi perhatian Amerika.
“Kebijakan OJK dan Bank Indonesia yang membatasi kepemilikan asing di sektor perbankan dinilai Amerika sebagai hambatan bagi investasi mereka,” tambahnya.
Meskipun demikian, ia menilai bahwa kebijakan ini adalah langkah yang tepat bagi Indonesia untuk menjaga stabilitas dan kedaulatan ekonomi.
Di sisi lain, lanjutnya, Indonesia perlu mengoptimalkan sumber daya alam dan aset berharga seperti emas, yang kini menjadi primadona di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Dia menekankan bahwa ekonomi syariah, yang berbasis pada aset yang lebih stabil, bisa menjadi solusi untuk memperkuat perekonomian Indonesia di masa depan.
Dengan segala tantangan dan peluang ini, Indonesia diharapkan bisa terus maju, menghadapi persaingan global, dan mengoptimalkan kebijakan-kebijakan yang mendukung digitalisasi dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Sebelumnya, Pemerintah Amerika Serikat (AS) komplain atas kebijakan pemerintah yang membatasi kepemilikan asing di Indonesia. Mereka protes dan menjadikan aturan itu sebagai salah satu hambatan hingga Indonesia dikenakan tarif resiprokal oleh Presiden Donald John Trump.
Dalam Laporan Perkiraan Perdagangan Nasional 2025 tentang Hambatan Perdagangan Luar Negeri AS, menyoroti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 56/03/2016 membatasi kepemilikan bank tidak lebih dari 40 persen oleh satu pemegang saham, yang berlaku untuk pemegang saham asing dan domestik. Dalam kasus tertentu, OJK dapat memberikan pengecualian terhadap aturan umum ini.
“Berdasarkan Peraturan OJK No. 12/POJK.03/2021, OJK meningkatkan batasan ekuitas asing untuk bank umum menjadi 99 persen dengan penilaian sebelumnya dari unit pengawas perbankan di OJK. Bank sentral Indonesia, Bank Indonesia (BI), membatasi kepemilikan asing di perusahaan pelaporan kredit swasta hingga 49 persen berdasarkan Surat Edaran BI No. 15/49/DPKL,” begitu isi dokumen tersebut dikutip Republika.co.id di Jakarta, Ahad (20/4/2024).
Berdasarkan Peraturan BI Nomor 18/40/PBI/2016 tentang operasi pemrosesan transaksi pembayaran, BI membatasi kepemilikan asing atas perusahaan pembayaran hingga 20 persen (tetapi mengecualikan investasi yang ada yang melebihi batasan ekuitas asing ini). (*)