Sunday, July 13, 2025

Langkah Mengatasi Berbagai Permasalahan Industri Sawit Indonesia

Shares

Oleh : SUROTO

Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR Federation)

 

Berdikari.Online-Kelangkaan dan mahalnya minyak goreng bahan baku dari kelapa sawit sempat membuat geram masyarakat lebih dari empat bulan. Berbagai kebijakan telah diambil pemerintah namun seperti lumpuh tak berpengaruh. Masalahnya, selalu masyarakat yang lemah, apakah itu petani sawit rakyat ataupun konsumen rumah tangga minyak goreng selalu yang paling dirugikan.

Banyak faktor yang pengaruhi kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng bahan baku dari kelapa sawit untuk kebutuhan domestik akhir-akhir ini. Utamanya karena peningkatan permintaan kebutuhan pasar internasional paska Covid 19 yang mulai mereda, dan juga krisis energi akibat perang Ukraina Vs Rusia. Namun ironisnya, kita adalah produsen kelapa sawit sebagai bahan baku minyak goreng yang menyuplai 60 persen pasokan dunia.

Jauh sebelum terjadi gonjang-ganjing minyak goreng, sesungguhnya petani sawit rakyat juga sempat menjadi korban permainan harga. Harga Tandan Buah Segar ( TBS) kelapa sawit atau sawit rakyat mandiri sebetulnya pernah anjlok cukup drastis. Diawal tahun 2021 harga di lapangan bahkan pernah mencapai 375 rupiah per kg. Padahal untuk mencapai break event point ( BEP), petani sawit harus mendapatkan harga 1.100 rupiah per kg.

Pemerintah lalu mengambil kebijakan Domestic Price Obligation ( DPO) untuk menyelamatkan harga TBS terutama untuk petani sawit rakyat dengan membelinya untuk memenuhi kebutuhan Biofuel domestik. Puncaknya Harga yang juga dipengaruhi permintaan kebutuhan pasar internasional meningkat terus dan mencapai  harga TBS dalam kisaran 3.000 hingga 3.400 rupiah per kg.

Begitu Covid mereda dan kebutuhan minyak sawit internasional terus merangkak naik, pebisnis utama sawit mulai mengutamakan pasar internasional dan terjadilah kelangkaan minyak goreng berbahan baku sawit didalam negeri.  Harga Crude Palm Oil (CPO) tercatat meningkat tajam hingga 50 an persen.  Hal ini mendorong pebisnis sawit menggenjot eksportasi.

Hukum besi bisnis memang demikian, dimana ada keuntungan lebih besar, kesanalah semua barang akan dijual. Masalahnya, masyarakat konsumen rumah tangga dan terutama usaha kuliner kelas mikro dan kecil (UMKM) yang paling membutuhkan minyak goreng tersebut menjadi korban. Harga melonjak dan bahkan sempat alami kelangkaan.

Kebijakan pemerintah pun jadi bulan-bulanan. Pemberian subsidi kepada eksportir atas selisih harga domestik dan internasional  tidak membuat pengusaha bergeming. Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dengan memaksa penyediaan stok kebutuhan minyak sawit dalam negeri tetap tidak efektif. Bahkan menyisakan masalah adanya dugaan korupsi pejabat di Kementerian Perdagangan bekerjasama dengan para eksportir.

Pemerintah kemudian seakan  kebingungan dengan mengatakan bahwa bahan baku minyak goreng telah terpenuhi dan melimpah untuk kebutuhan domestik, namun yang terjadi justru kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng dipasaran. Menyusul kemudian kebijakan penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) hingga 14 ribu rupiah tetap tak dapat menurunkan harga. Hingga terakhir pada tanggal 28 April 2022 pemerintah mengambil kebijakan melarang keseluruhan eksport minyak sawit meliputi Crude Palm Oil (CPO), RPO, RBD Olien, POME dan Used Cooking Oil sampai akan terjadinya stabilitas harga dipasar internasional.

Apa Masalah Sesungguhnya ?

 

Masalah yang terjadi sebetulnya bukan semata akibat permainan pengusaha sawit. Tapi justru ada pada sisi kebijakan pemerintah. Pemerintah telah membuat struktur bisnis industri sawit berada dalam gengaman oligopolistik ditangan segelintir pengusaha yang menguasai hulu hingga hilir rantai industri sawit.

Kebijakan pola PIR (Plasma Inti Rakyat) misalnya, yang diharapkan yaitu kebun plasma sawit rakyat lebih banyak tapi saat ini justru yang terjadi sebaliknya. Perkebunan besar milik perusahaan swasta justru dominan. Dari 15,08 juta hektar perkebunan sawit di Indonesia,swasta menguasai seluas 8,42 juta ha (55,8%), perkebunan besar negara  seluas 579,6 ribu hektar (3,84%) dan sisanya perkebunan rakyat  hanya seluas 6,08 juta hektar atau (40,34%). Total produksi sebanyak 49,57 juta ton.

Perkebunan plasma rakyat yang diharapkan lebih dominan justru dikalahkan oleh perkebunan besar inti milik swasta. Perusahaan plasma hanya bergerak di sektor on farm (budidaya) yang dibiarkan bergantung sepenuhnya pada  Pabrik Kelapa Sawit (PKS) milik perusahaan inti yang juga ikut bermain hingga sampai industri hilirnya.

Pemerintah sejak terapkan kebijakan penggunaan minyak sawit untuk Biofuel juga telah berikan kemewahan kepada pengusaha perkebunan swasta besar sawit. Mereka menikmati hampir 80 persen dari total pengeluaran dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit  ( BPDPS). Sedangkan untuk penyediaan dana dan subsidi untuk peremajaan pohon bagi rakyat petani sawit justru diabaikan. Akibatnya, dari sekitar 24 pengusaha perkebunan sawit, 5 dari mereka menguasai lebih dari separuh produksi sawit kita.

Rakyat petani sawit juga harus hadapi masalah ketersediaan pupuk karena jalur distribusi pupuk yang disubsidi  APBN selama ini dibiarkan liberal jatuh ke tangan swasta. Padahal kita tahu barang subsidi itu secara teori termasuk barang publik yang jalur distribusinya harus secara khusus dapat dikendalikan dengan efektif. Tidak bisa hanya dilakukan pengawasan oleh kepolisian, justru membuat semakin blunder, tapi harus dilakukan rekayasa kelembagaan yang dapat dimintai pertanggungjawaban setiap saat. Seperti pada jaman Orde Baru dulu misalnya melalui Koperasi Unit Desa ( KUD).

Malaysia Sebagai Pembanding

Dalam segi produktifitas, maupun  kelembagaan serta tata kelola, industri sawit kita memang jauh lebih buruk  jika dibandingkan dengan Malaysia sebagai produsen sawit nomor dua dunia. Walaupun mereka nomor dua dari jumlah produksi, tapi petani sawit rakyat mereka bahkan memperkerjakan buruh-buruh migran kita baik secara legal maupun ilegal.

Memprihatinkan lagi adalah Malaysia juga menguasai investasi di perkebunan kita dan akhirnya merekalah yang mengendalikan harga . Malaysia produksi terbesar nomor dua tetapi berpengaruh mengatur harga atau sebagai price maker dipasar global.

Perusahan sawit swasta di Malaysia diimbangi oleh perusahaan Koperasi FELDA yang dikembangkan oleh pemerintah sendiri dari penguasaan lahan hingga pengembangan pabrik pengolahanya bersama petani rakyat. Sehingga perusahaam swasta tak bisa bertindak semaunya tanpa perhatikan kepentingan nasional.

Dalam sistem FELDA yang jadi prioritas sebetulnya sedang melakukan program reforma agraria yaitu memberikan lahan kepada petani kecil seluas 10 hektar per keluarga petani agar masuk dalam skala ekonomi. Mereka juga ikut kendalikan industri sawit secara keseluruhan karena perusahaan holding koperasi FELDA ini ada di semua industri terkait dengan sawit dan termasuk menikmati untung investasi sawit di Indonesia sehingga petani sawit mereka menjadi sejahtera.

Koperasi Publik Sawit

Untuk itu, jika pemerintah ingin melakukan stabilitas harga secara permanen maka harus berani lakukan perubahan besar dengan cara membentuk holding Koperasi Publik Sawit semacam FELDA di Malaysia. Melakukanya sangat mudah, pemerintah cukup mengkonversikan sebagian saham perusahaan BUMN yang terkait dengan industri sawit seperti PTPN, Bulog, dll atau pemerintah melakukan penyertaaan modal di koperasi sawit publik yang dibentuk secara nasional. Langkah selanjutnya yaitu mengintegrasikan semua kebun rakyat mandiri dalam Koperasi Publik Sawit tersebut sehingga menjadi  pengendali utama ada di tangan petani rakyat berbasis keluarga, bukan ditangan para konglomerat sawit.

Melalui kepemilikan bersama antara petani rakyat dan pemerintah ini kemudian  mendorong terbangunya pabrikasi sawit dan minyak goreng, menguasai  jalur distribusi khusus untuk minyak goreng yang menjadi bagian dari holding dan kembangkan dukungan logistik, keuangan, asuransi, penyaluran pupuk dan lain-lain ke dalam Koperasi Publik Sawit tersebut.

Membangun Nilai Sosial

Kepemilikan secara demokratis atas koperasi ini juga dapat berfungsi ganda. Selain menjaga fungsi keseimbangan pelaku usaha di industri sawit juga akan memberikan distribusi  nilai tambah ekonomis dan sosial lebih luas.

Kepemilikan yang luas dari koperasi publik sawit ini diharapkan juga akan mendorong bagi kemudahan dalam pengambilan keputusan untuk kendalikan dampak negatif bagi lingkungan dari perkebunan monokultur ini dan juga menghapus sepenuhnya berbagai konflik lahan yang terjadi antara korporasi dengan masyarakat karena perusahaan koperasi ini juga dimiliki oleh petani sawit.

Koperasi publik sawit yang didukung sepenuhnya oleh pemerintah ini juga akan berfungsi untuk merestrukturisasi  pasar monopoli atau oligopoli dari industri sawit dari sektor hulu sampai hilir yang selama ini hanya dikuasai segelintir pelaku usaha.  Ini berarti selesaikan masalah secara mendasar dan termasuk stabilkan harga secara permanen.

Kontrol demokratis  dan tata kelola koperasi publik dengan melibatkan suara  dari semua  perwakilan dalam keputusan bisnis juga akan mendorong munculnya banyak ide dan gagasan yang memberikan manfaat lebih adil dan tata kelola industri yang lebih transparan.

Harapan terjadinya stabilitas harga minyak goreng serta kesejahteraan bagi petani sawit  akan terwujud hanya jika solusi  fundamental dan integratif yang demikian itu dapat dilakukan. Tanpa rekayasa kelembagaan, penataan penguasaan konsesi lahan, dan tata kelola industri sawit secara keseluruhan maka akan sulit diharapkan adanya perubahan pada rantai industri sawit. Semua masalah hanya akan mendapat solusi simtomik dan tambal sulam serta munculkan potensi moral hazard dari setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. (*)

Shares

berita lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Berita Terbaru