Tuesday, July 15, 2025

PP ISKA Dorong Generasi Muda Kobarkan Semangat Kebangsaan

Shares

Berdikari.Online -Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (PP ISKA) menggelar kegiatan Pendidikan Kader Kebangsaan Angkatan 1 bertempat di Universitas Katolik Indonesia Atmajaya Jakarta, Minggu (30/7/2023)

Kegiatan perdana tersebut dihadiri oleh 50 peserta dengan mengusung tema “Merdeka Dalam Keberagaman.”

Hadir sebagai pemateri Prof. Dr. Franz Magnis Suseno (Guru Besar STF Driyarkara), MM Restu Hapsari (Presidium Dialog Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan PP ISKA), Dr. A. Setyo Wibowo (Dosen STF Driyarkara) dan Moh. Aan Anshori (Koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi).

Ketua Presidium Pengurus Pusat ISKA, Luky A. Yusgiantoro menjelaskan bahwa agenda tersebut dilaksanakan guna merawat dan menjaga nilai – nilai keberagaman agama dan kepercayaan, suku, ras, adat istiadat dan golongan.

“Kami berharap agar para peserta ini mampu berjejaring lintas agama dan kepercayaan tanpa membedakan suku, ras, adat istiadat dan golongan dari komunitas terdekat masing – masing peserta seperti sekolah, universitas, RT, RW dan sekitarnya,” ujar Ketua Presidium PP ISKA tersebut.

Prof. Dr. Franz Magnis Suseno menegaskan, hidup dan aktivitas dalam lingkungan yang majemuk dengan sejuta keberagaman bukan sesuatu hal yang baru dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, belakangan ini Indonesia kerap mengalami krisis toleransi.

Guru Besar STF Driyarkara tersebut menerangkan bahwa tantangan hari ini dan masa depan kita pada radikalisme dan polarisasi yang masif di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia menambahkan bahwa pancasila sebagai nilai, cita-cita dan etika harus menjadi pedoman dalam berbagai aktivitas kita.

Dikatakannya, bahwa Pancasila adalah hal yang pertama kali yang dituntut masyarakat kepada negara. “Karena Pancasla tidak sekadar dilafalkan tetapi harus diperjuangkan,” ujarnya.

Di sisi lain, agar masyarakat yakin bahwa Indonesia bukan milik “mereka di atas“ Negara harus menunjukkan bahwa segenap manusia dari Sabang sampai Merauke dapat hidup secara terhormat, sejahtera, adil, bebas dari kemiskinan dan kelaparan. Tidak terjadi penggusuran-penggusuran kecuali ada kompensasi penuh, memberi harapan masa depan lebih baik kepada rakyat kecil serta keputusan-keputusan pengadilan dapat dirasakan sebagai adil .

“Pancasila mengajarkan kita untuk hormat terhadap kebebasan beragama dengan harapan kita harus menolak ideologi-ideologi yang menyangkal nilai bangsa, harus kebal terhadap hasutan-hasutan populistik,”ucap Prof. Dr. Franz Magnis Suseno .

Presidium Dialog Hubungan Antar Agama Dan Kepercayaan PP ISKA, Restu Hapsari mengatakan sebagai warga negara yang baik, kita harus mematuhi UUD 1945 sebagai hukum tertinggi dalam berbangsa dan bernegara.

“Konstitusi bukan hanya dilihat dari sisi yuridisnya saja melainkan perlu dilihat dalam arti politis dan sosiologis sehingga dapat mencapai keadilan, ketertiban, serta kesejahteraan masyarakat umum,” kata Restu Hapsari.

Sementara itu, Moh. Aan Anshori selaku Koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi menyampaikan keberagaman yang ada adalah kekayaan dan keindahan bangsa Indonesia yang menjadi kekuatan untuk bisa mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional menuju Indonesia yang lebih baik lagi

“Saya berberharap banyak generasi muda Katolik meyakini dirinya telah ditakdirkan untuk menjaga kebhinekaan Indonesia. Slogan 100 persen Katolik 100 persen Indonesia senyata menegaskan tersebut. Itu berarti, mereka memiliki tugas untuk ikut serta memastikan generasi muda agama lain memiliki visi dan misi serupa,” imbuhnya.

Untuk bisa melaksanakan hal di atas, lanjutnya, kader-kader Katolik perlu dibekali setidaknya 5 hal; pertama, tahan bantin dabln konfidensi atas kekatolikan dan keindonesiaannya. Kedua, pemahaman mendalam (kritis-empatif) atas keberadaan kelompok di luar Katolik, khususnya saudara-saudaranya yang beragama Islam. Ketiga, strategi berelasi dan membangun jaringan lebih besar untuk tujuan mengkampanyekan toleransi dan keadilan. Keempat, kemampuan dasar menulis untuk mengartikulasikan gagasan dan pengalamannya ke publik. Kelima, turun ke grassroot.

“Untuk memperkuat keberagaman kita harus saling menjaga dalam bingkai kebhinekaan,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Dr. A. Setyo Wibowo mengungkapkan bahwa orang Katolik memiliki sejarah khusus dalam penyatuan dirinya dengan Negara Indonesia. Meski dicap sebagai “agama asing”, pelan namun pasti, umat Katolik mengintegrasikan dirinya secara penuh ke Republik Indonesia.

Satu tokoh kunci yang memudahkan proses itu adalah Romo van Lith S.J. (yang kemudian akan sangat penting mengingat murid-muridnya adalah: I. J. Kasimo dan Mgr. A. Soegijapranata S.J.; dan secara tidak langsung, atau ‘murid rohani’ saja, yaitu Driyarkara SJ.)

Dikatakan Romo Setyo Wibowo, bahwa agama bagi Mgr. Soegijapranata mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan jiwa manusia, sehingga urusannya adalah soal hal-hal yang pribadi (moral kejujuran, kesetiaan, sikap adil, kasih, hormat pada sesama, setia pada atasan dan jabatan) dan bersifat kekal (soal surga).

“Sementara tugas Negara berkaitan dengan hal yang sifatnya fisik (merawat persatuan, mengerjakan tugas mensejahterakan rakyat lewat kebijakan-kebijakannya), bersifat sementara dan berubah-ubah (seperti galibnya kekuasaan politik yang berubah-ubah). Untuk itu, tugas pokok Negara adalah menciptakan suasana eksternal agar orang-orang beragama bisa menjalankan sikap religiusnya dengan baik dan tepat. Sedangkan bagaimana Agama mesti dijalankan, itu adalah tugas masing-masing agama,” katanya.

Rohaniwan Katolik ini mengharapkan perlu adanya sifat toleran dan juga tenggang rasa terhadap perbedaan dalam kemajemukan di masyarakat. “Perbedaan ini menjadi keunikan kita yang perlu dipelihara, dipertahankan keseimbangannya dalan negara dan berbangsa,” pungkasnya. (*)

Shares

berita lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Berita Terbaru