Saturday, July 19, 2025

KPK Soroti 17 Masalah dalam RUU KUHAP yang Dinilai Melemahkan Pemberantasan Korupsi

Shares

Berdikari.Online – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti sejumlah ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang dinilai berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menyebut bahwa rancangan regulasi tersebut dapat menggerus kewenangan lembaganya dalam menangani tindak pidana korupsi.

“Kami melihatnya ada potensi-potensi yang kemudian bisa berpengaruh mengurangi kewenangan, tugas, dan fungsi daripada Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujar Setyo dalam pernyataan resmi, Jumat (18/7/2025).

Setyo menjelaskan, KPK telah menggelar forum diskusi bersama para pakar hukum untuk membandingkan ketentuan dalam RUU KUHAP dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU KPK.

KPK juga menjalin komunikasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia guna membahas lebih lanjut rancangan undang-undang tersebut. Salah satu sorotan utama adalah ketidaksinkronan antara batang tubuh dan ketentuan peralihan dalam draf revisi KUHAP.

Selain itu, KPK mencatat 17 persoalan yang dinilai tumpang tindih atau bertentangan dengan UU KPK. Beberapa di antaranya yaitu hilangnya sifat lex specialis UU KPK, penyelidik KPK tidak diakui, hingga pembatasan penyadapan dan penyitaan. Dalam draf RUU KUHAP, penyitaan hanya dapat dilakukan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri, sementara KPK selama ini dapat melakukannya tanpa izin tersebut. Penetapan tersangka pun dalam RUU hanya dapat dilakukan setelah terkumpul dua alat bukti, sedangkan KPK memiliki mekanisme berbeda berdasarkan UU yang berlaku.

“Dalam perkembangan diskusi di internal KPK, setidaknya ada 17 poin yang menjadi catatan, dan ini masih terus kami diskusikan,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, Kamis (17/7/2025).

Permasalahan lain yang juga disorot adalah penuntutan yang harus dilakukan melalui Kejaksaan, serta pelimpahan berkas perkara yang wajib melalui penyidik Polri. Sementara dalam sistem KPK, proses tersebut dilakukan secara mandiri oleh penyidik dan penuntut umum internal KPK.

Selain itu, pelarangan bepergian hanya berlaku untuk tersangka, padahal sebelumnya dapat diberlakukan sejak penyelidikan. Mekanisme praperadilan juga disebut dapat menghambat sidang perkara korupsi.

KPK menilai, seharusnya RUU KUHAP menjadi instrumen penguatan, bukan pembatasan. Karena itu, lembaga antirasuah ini berharap Panja RUU KUHAP di DPR mempertimbangkan kembali seluruh pasal yang berpotensi melemahkan penegakan hukum korupsi.***

 

Shares

berita lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Berita Terbaru