Friday, July 11, 2025

Refleksi Trisakti Bagi Bangsa Indonesia

Shares
B. Suhartoko, Dr., SE., ME
Dosen Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan dan Magister Ekonomi Terapan Unika Atma Jaya Jakarta

Trisakti merupakan jargon warisan yang luar biasa bagi bangsa Indonesia. Konsep Trisakti ini dikemukakan oleh Bung Karno pada tahun 1963. Konsep Trisakti merupakan buah pemikiran dari visi pemikiran Bung Karno, mengenai Indonesia yang kuat dalam bidang politik, ekonomi dan budaya. Isi dari Trisakti adalah pertama Berdaulat di Bidang Politik, kedua Berdikari di Bidang Ekonomi dan ketiga Berkepribadian dalam budaya.
Bung Karno memandang dan berpikir ke depan, dunia yang saat ini terjadi adalah dunia yang semakin tanpa sekat, tanpa batas yang jelas antar negara, pengurangan aturan antar negara serta berbagai kondisi yang pada akhirnya memunculkan globalisasi. Ketidakseimbangan daya tawar antar negara sebagai konsekuensi pasar dunia yang oligopolis dan ketidakseimbangan penguasaan kelembagaan dunia serta tidak adanya filter yang kuat sebagai wujud kemauan politik, ekonomi dan budaya yang kuat akan semakin memperlemah posisi tawar suatu negara dan tentu saja kedaulatan negara.
Konsep Trisakti merupakan konsep yang luar biasa, namun dalam implementasinya masih jauh panggang dari api, sehingga negara yang berdaulat di bidang politik, rakyat yang mandiri sejahtera dalam bidang ekonomi dan rakyat yang berkepribadian dalam kebudayaan belum terwujud dan masih jauh dari cita-cita pendiri bangsa ini. Fenomena-fenomena yang terjadi yang berkaitan dengan masih jauhnya implementasi Trisakti masih ada dan bahkan tumbuh subur sampai saat ini.
Dalam upaya meningkatkan kekuatan militer dengan memperkuat alutsista saja sangat tergantung terhadap negara lain, walaupun dalam posisi sebagai pembeli. Sebagai pembeli pun tetap saja dibebani beberapa syarat oleh produsen yang mau tidak mau harus dipenuhi. Belum lagi diciptakan ketergantungan dalam pemeliharaan, suku cadang dan pembayaran. Dalam pasar ini, pembeli berada dalam pasar yang cenderung monopoli atau oligopolis sebagai cerminan kartel produsen, yang bukan saja dapat mengatur harga, tetapi segalanya. Produsen tidak hanya satu, beberapa produsen mempunyai kepentingan yang seringkali berbenturan secara politik barangkali bisa menjadi celah meningkatkan daya tawar.
Empat puluh sampai dengan lima puluh tahun yang lalu dalam pelajaran ilmu kewarganegaraan, seringkali muncul pertanyaan mengenai makanan pokok suku-suku di Indonesia. Sebagai contoh apa makanan pokok Suku Jawa? Dijawab padi. Apa makanan pokok Suku Papua, Maluku? Dijawab sagu, apa makanan pokok Suku Madura? Dijawab jagung. Pertanyaannya, apakah pertanyaan tersebut masih relevan ditanyakan saat ini? Makanan pokok sudah seragam yaitu padi, namun yang menjadi pertanyaan refleksinya adalah keadaan ini terjadi sebagai unsur kesengajaan yang diarahkan oleh pihak-pihak yang diuntungkan atau unsur ketidaksengajaan karena sifat pragmatis saja. Jika diversifikasi makanan pokok masih terjadi sampai saat ini, paling tidak kedaulatan pangan masih dapat terjaga dengan mengandalkan potensi pangan yang ada di setiap daerah.
Masih dalam hal pangan dan produksi makanan. Dalam teori ekonomi dasar, produksi merupakan fungsi atau dipengaruhi oleh keberadaan faktor produksi. Salah satu faktor produksi adalah bahan baku. Sudah layak dan sepantasnya output yang dihasilkan oleh suatu negara berdasarkan bahan baku yang dihasilkan negara tersebut. Namun demikian, sungguh sangat ironis produksi mie instan dan makanan olahan lain di Indonesia didominasi oleh produk yang berbahan baku gandum. Walaupun produksi makanan berbahan baku gandum dari Indonesia sudah mendunia, namun tidak mencerminkan kedaulatan pangan. Jika pada suatu saat terjadi pengurangan impor gandum dari negara produsen, maka akan menyebabkan dampak ekonomi yang lebih luas berkaitan dengan ketenagakerjaan, hubungan penggunaan input-ouput dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Nampaknya ke depan perlu didorong para pengusaha makanan olahan untuk memproduksi makanan olahan yang berbahan baku, di mana secara domestik bisa dihasilkan.
Dalam hal makanan lain seperti tempe, tahu dan kecap yang selama ini dikenal sebagai makanan tradisional dan sulit dipisahkan dari kelengkapan makanan, sehingga ketika ketersediaan bahan bakunya terganggu dapat menimbulkan gejolak ekonomi. Pada umumnya produksi tempe, tahu dan kecap berbahan baku kedelai. Pertanyaan tahu refleksinya adalah apakah produksi kedelai di Indonesia mampu memenuhi kebutuhan untuk pembuatan tempe, kecap dan bahan makanan berbahan kedelai. Kenyataannya impor kedelai semakin besar, yang berarti ketergantungan terhadap negara produsen kedelai semakin besar. Butuh waktu untuk berdaulat dalam bahan baku kedelai, karena untuk meningkatkan produksi butuh waktu dan apakah tanah di Indonesia cocok untuk ditanami kedelai. Dalam hal produksi, upaya mengalihkan produksi yang berbahan baku non kedelai secara signifikan juga membutuhkan waktu, demikian juga dalam merubah selera konsumen.
Dalam hal budaya, jika diamati selera budaya generasi muda Indonesia menunjukkan pergeseran yang cukup kuat ke selera budaya internasional. Hal ini tidak hanya terjadi di masyarakat perkotaan saja, tetapi juga merambah generasi muda pedesaan. “Selera Korea dan Barat” begitu berkembang di Indonesia, sedangkan alternatif menyuguhkan budaya lokal relatif tidak tumbuh, jika adapun sifatnya sangat sporadis dan tidak berkelanjutan seperti demam tari Wanara yang mulai dari Yogyakarta. Pada akhirnya yang menikmati kue bisnis budaya adalah asing, sangat ironis dengan keragaman budaya yang kita miliki, namun tidak dinikmati dan bermanfaat secara ekonomi. Merubah selera budaya apakah kita mampu? Jawabannya adalah mampu, namun perlu dipikirkan secara strategis. Sebagai contoh, batik yang dulu pemakainya terbatas pada generasi tua, untuk hal yang resmi, karena adanya isu nasionalisme akhirnya penggunaan batik menjadi sangat meluas dan menumbuhkan produsen-produsen batik baru.
Jargon “Aku Cinta Produksi Indonesia” yang dulu terkenal dengan singkatan ACI, mendorong meningkatnya Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), dan yang baru baru saja “Aku bangga buatan Indonesia” merupakan kemauan politik yang mempunyai sejarah panjang untuk mencapai kemandirian ekonomi. Namun demikian yang patut dipertanyakan adalah kinerja-kinerja implementasinya.
Dalam suatu pertemuan, Presiden Joko Widodo meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh mengawasi realisasi kebijakan sebanyak 40 persen alokasi anggaran di APBN, APBD dan BUMN yang digunakan untuk belanja produk dalam negeri. Kepala Negara menargetkan hingga Mei 2022 dari total anggaran APBN sebesar 526 triliun rupiah, APBD sebesar 535 triliun rupiah, BUMN senilai 420 triliun rupiah, sebanyak 400 triliun rupiah dapat digunakan untuk pembelian barang dari dalam negeri. Presiden bahkan menegaskan “Penambahan pertumbuhan ekonomi sudah ada di depan mata kita, kita mau mengerjakan atau tidak mau mengerjakan? Kalau mau mengerjakan, artinya ada tambahan (pertumbuhan ekonomi) sehingga saya minta dan saya tidak mau ditawar-tawar lagi urusan 400 triliun rupiah di Mei segera dorong UKM-UKM di daerah masuk segera ke e-katalog, masukkan sebanyak-banyaknya”.
Presiden Jokowi benar-benar ingin mengimplementasi kemauan politik terutama dalam berdikari dalam bidang ekonomi. Penggunaan barang barang asing tidak akan mendorong pertumbuhan industri dalam negeri, penyerapan tenaga kerja, karena keterkaitan ke depan (forward linkage) dan ke belakang (backward linkage) yang rendah. Jika dari APBN saja mempunyai dampak yang besar, apalagi gerakan itu juga meliputi gerakan konsumsi barang domestik yang didukung pasar yang besar sehingga skala ekonomis produksi bisa dilakukan yang akan menghasilkan rata-rata biaya yang murah dan adanya peningkatan bahan baku domestik. Namun demikian ada beberapa hal yang patut dicermati menyangkut keberhasilan kemauan politik ini.
1. Dalam tataran penggunaan APBN, perlu disusun sistem yang efektif, yang secara komprehensif meliputi monitoring dan evaluasi, reward and punishment para pelakunya, serta target pencapaiannya. Dengan demikian tidak berhenti pada jargon semata.
2. Pemerintah perlu memfasilitasi, merencanakan dan mengimplementasikan pembangunan industri yang saling berkaitan dalam penggunan input-output.
3. Budaya cinta produksi dalam negeri harus semakin intensif dilakukan kepada masyarakat konsumen, melalui edukasi sejak dini serta berbagai macam kegiatan untuk memperkuatnya.
Tidak mudah memang mengimplementasikan Trisakti, selain membutuhkan kemauan politik yang kuat, melakukan manuver politik internasional, mengubah selera internasional ke domestik dan juga menghadapi perlawanan para pemburu rente. Namun semua tindakan harus dilakukan secara komprehensif, tersistem dan tegas. Pemimpin yang cinta tanah air dan kuat dibutuhkan untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa yang kuat dalam politik, ekonomi dan budaya.

Shares

berita lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Berita Terbaru